Lewat tengah malam ini saya masih terjaga dari tidur karena larut dalam pemikiran bahwa pada dasarnya negara ini ternyata mengalami kerapuhan konsep dalam penerapan teknologi. Entah saya yang salah dalam memperhatikan teknologi yang ada atau justru saya yang ketinggalan perkembangan tentang teknologi itu sendiri. Entahlah. Tapi yang jelas, sekedar punya kuda-kuda untuk mengambil alih teknologi pun kita tidak mampu. Ya, sekedar kuda-kuda. Hal yang mendasar dan terkadang justru di-skip, tapi sadarilah bahwa komponen ini begitu penting !. Apabila kita menonton film “The American Shaolin”, ilmu pertama yang diajarkan di Biara Silat itu adalah kuda-kuda. Dan itu tiga tahun lamanya, hanya untuk mempelajari kuda-kuda !.
Nafsu tidur saya pun malam ini menghilang, tidak habis pikir. Perkataan dosen saya sore tadi membuat pikiran saya terbang ke suatu dimensi abstrak tanpa batas. Untuk sepersekian detik saya menyesal lahir di negeri ini. Tapi, kemudian saya tersadar bahwa bukan penyesalan yang harus digeluti, tapi saya akan menyelam ke permasalahan yang ada dan mulai menyelesaikannya dari sana. Walaupun pada dasarnya saya belum tahu bagaiman cara untuk menyelesaikannnya sekarang ini. Dosen saya mengatakan bahwasanya predikat Master Teknik di negeri ini hampir pasti (tidak semua) akan terdegradasi statusnya menjadi sama dengan Sarjana Teknik apabila terjun ke dunia industri. Karena tidak ada lowongan kerja untuk lulusan Master di negeri ini. Akibatnya apa yang di dapat oleh pelamar bergelar Master nantinya akan sama saja dengan yang diterima oleh yang bergelar Sarjana. Jangan harap para petinggi perusahaan asing, seperti salah satu perusahaan manufaktur otomotif terbesar di dunia yang memiliki cabang di Indonesia mau mendengar pendapat kita, kecuali anda merupakan individu yang sangat luar biasa. Bahkan pada beberapa perusahaan antara D3 dan S-1 itu tidak ada bedanya. Jadi, apalah gunanya para pemikir dan konseptor teknologi di negeri ini ?. Tetapi sobat, satu hal yang harus diingat : TIDAK ADA ILMU YANG SIA-SIA.
Kegelisahan tengah malam ini seakan tidak ada akhirnya. Bolehkah saya menggugat dan menghujat ?. Bukankan saya hanyalah seorang mahasiswa yang tak berhak menjadi juri atas kompetensi teknologi kita ?. Atau bahkan bukankah teriakan saya ini juga nantinya tidak akan didengar ?. Bahkan seorang pemerhati SDM bernama Adriano Rusfi harus mengutuk keputusannya sendiri setelah menerima tawaran survey tentang SDM PIPTEK di dunia industri kita. Karena survey ‘celaka’ itu menghasutnya untuk menelurkan kesimpulan brutal : SDM PIPTEK industri di negeri ini hampir tidak ada !!!. Hasil itu seperti mengacuhkan ikhtiar jutaan karyawan riset dan teknologi yang telah menghabiskan rupiah dan pengorbanan yang tidak sedikit untuk mengembangkan teknologi di perusahaan masing-masing. Sekilas penilaian hasil survey tersebut memang tidak adil. Tapi, mari kita tinjau apa yang telah dihasilkan oleh para karyawan teknologi alias teknolog tersebut ?. Yang ada hanya para pekerja kreatif dan tukang-tukang berpengalaman yang berhasil mengubah gelas berbibir bulat menjadi segitiga. Atau sekelompok orang yang berkotor-kotor di lapangan pengeboran minyak dan harus siaga 24 jam sehari selama 345 hari per tahun. Apakah itu yang disebut sebagai SDM PIPTEK ?. Mungkin saya salah atau memang saya masih terlalu muda untuk membuat definisi, tetapi bukankan SDM PIPTEK itu seharusnya adalah saintis dan teknolog yang menggunakan seluruh usaha ontologis, epistemoligis dan aksiologis untuk mengambarkan, menjelaskan, meramalkan, mengendalikan dan merekayasa gejala-gejala ilmiah. Bukankah ruang lingkup kerja SDM PIPTEK itu berada pada tahapan conceptual design ?. Atau mungkin saya yang terlalu kolot, sehingga tidak mengikuti perkembangan zaman bahwasanya antara TEKNOLOG dan TEKNISI sebenarnya sama saja. Bahwa antara IMPLEMENTATOR dan OPERATOR bukanlah hal yang penting lagi untuk dibedakan.
Sebagai putra bangsa saya sebenarnya telah berusaha untuk salut dan berjuang untuk bangga atas ‘kemajuan’ teknologi di negeri ini. Lihatlah di pelosok negeri ini telah ada ‘SDM PIPTEK’ yang mampu merubah knalpot sepeda motor tetap bekerja baik di dalam genangan banjir. Di sudut yang lain terdapat sekelompok Doktor yang mampu meningkatkan efisiensi keseluruhan dari suatu turbin di suatu power plant. Namun, semua itu terasa getir ketika menyadari bahwasanya sang modifikator knalpot canggih bahkan tidak mampu menciptakan sebatang knalpot paling generik sekalipun, sepenuhnya dari nol. Dan apa yang harus dikatakan bila ternyata para Doktor inovator turbin tersebut tak kuasa untuk membuat sebuah turbin yang paling sederhana sekalipun. Maaf, perakit ternyata bukan pencipta. Assembler is not Inventor.
“Kunci dari perkembangan teknologi adalah kesederhanaan, kesederhanaan untuk memikirkan bagaimana sesuatu dapat diciptakan sebelum melangkah ke tahapan rekayasa konsep berikutnya”.
No comments:
Post a Comment