Konsumsi bahan bakar minyak di
Indonesia yang sangat tinggi dan semakin meningkat per tahunnya menyebabkan
perlu adanya sumber energi alternatif untuk menjaga ketahanan energi nasional. Data
dari Kementrian ESDM
menunjukkan bahwa konsumsi bahan bakar minyak di Indonesia mencapai 479 juta
barel, sehingga terdapat defisit sebesar 150 juta barel pada tahun 2011 dan
angka tersebut diproyeksikan akan meningkat pada tahun-tahun berikutnya seiring
dengan selalu meningkatnya permintaan masyarakat atas bahan bakar minyak. Tetapi
konsumsi bahan bakar minyak tidak diimbangi oleh tingkat produksinya yang hanya
sebesar 329 juta barel (ESDM, 2011). Dari produksi tersebut sebanyak 132 juta
barel minyak diekspor ke luar negeri. Indonesia juga masih mengimpor minyak
mentah sebanyak 99 juta barel dan BBM 182 juta barel. Sementara itu cadangan
terbukti (proven reserve) minyak dalam negeri hanya 3,7 miliar barel atau 0,3 persen
dari cadangan terbukti dunia (ESDM, Maret 2012). Bahkan apabila dibandingkan
dengan negara tetangga, konsumsi minyak Indonesia delapan kali
lipat lebih besar daripada Malaysia (INDEF, Maret 2012). Sehingga tidak bijaksana apabila
Indonesia terus bergantung kepada energi dari bahan bakar minyak.
Untuk mengatasi masalah tersebut maka
diversifikasi energi melalui bahan bakar nabati (BBN) dalam bentuk pemanfaatan ubi
kayu sebagai sumber energi baru sangat potensial untuk dikembangkan mengingat
kondisi Indonesia yang merupakan negara agraris dan memiliki produksi ubi kayu
yang tinggi tetapi masih sangat rendah pemanfaatannya. Hal tersebut sejalan dengan
kebijakan energi nasional dimana sebetulnya Indonesia sudah sangat siap dengan
regulasi untuk menghadapai ancaman krisis energi, yaitu dengan adanya Peraturan
Presiden No.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang berisi strategi
untuk menjamin keamanan energi di Indonesia. Kebijakan ini telah merumuskan
bauran energi di tahun 2025 untuk mengurangi konsumsi energi fosil dan
menggantinya dengan energi baru terbarukan. Kebijakan lainnya yaitu UU
No.30 Tahun 2007 tentang energi yang mengarah kepada terwujudnya kemandirian
energi, PP no 70 Tahun 2009 tentang konservasi energi, serta Blue Print Pengelolaan Energi Nasional
2006-2025. Sayangnya implemetasi dari regulasi yang ada tidak sesuai dengan
harapan.
Sehingga apabila dianalisa lebih lanjut,
realisasi berkesinambungan dari pemanfaatan ubi kayu sebagai bahan baku
bioetanol sudah memiliki landasan yang jelas. Sekarang tinggal bagaimana
komitmen masyarakat dan pemerintah dalam pelaksanaannya. Dilihat dari segi
potensi, Indonesia merupakan negara yang memiliki produksi ubi kayu cukup besar
dibanding negara-negara lain. Menurut
laporan United Nation Industrial Development Organization (UNIDO),
Indonesia merupakan salah satu negara penghasil ubi kayu terbesar kedua di Asia
setelah Thailand, sementara di dunia menempati urutan kelima setelah Nigeria,
Brazil, Thailand, dan Kongo. Data tersebut di dukung oleh dijadikannya ubi kayu
sebagai sumber pangan di daerah Indonesia timur.
Selain
itu ubi kayu mempunyai komposisi kandungan kimia (per 100 gram) yang
memungkinkannya untuk menjadi bahan baku bioetanol, antara lain : kalori 146
kal, protein 1,2 gram, lemak 0,3 gram, hidrat arang 34,7 gram, etanol,
glikosida dan kalsium oksalat (Data Teknik Lingkungan ITS). Sehingga dari ubi
kayu bisa didapatkan produksi minyak 1020 L/Ha dengan ekivalen energi 6600
kWh/Ha (Purwanto, 2010). Sebagai contoh, untuk penggunaan di transportasi, bioetanol dari ubi kayu yang dibutuhkan
untuk campuran premium sekitar 1,37 juta kilo liter atau setara dengan 9,8 juta
ton ubi segar. Dimana hal ini dapat tertutupi dengan produksi ubi kayu nasional
sekitar 19,5 juta ton (PPPTP Bogor, 2005).
Tetapi implementasi dari ubi kayu untuk
menjadi bahan baku bioetanol tetap memiliki permasalahan. Walaupun berdasarkan
data yang ada potensinya sangat besar, produksi ubi kayu sabagai kebutuhan
pangan jelas akan menjadi pertimbangan untuk mengkonversi ubi kayu menjadi bioetanol,
sehingga dibutuhkan strategi peningkatan produksi ubi kayu tersebut agar dapat
memenuhi kebutuhan pangan dan sebagai bahan baku bioetanol. Selain itu
dibutuhkan standardisasi yang jelas dari harga bioetanol ubi kayu untuk
melancarkan proses pemasaran bioetanol tersebut, sehingga produk bioetanol ubi
kayu dapat memberi dampak positif secara ekonomi dengan menjadi solusi untuk
meningkatkan penghasilan petani singkong. Secara umum diperlukan integrasi dari
semua komponen mulai dari pemerintah sampai petani ubi kayu untuk mewujudkan
kesinambungan pemanfaatan bioetanol ubi kayu yang merupakan salah satu langkah untuk
mewujudkan visi roadmap energi 2025 dimana
pemanfaatan bioetanol diharapkan mencapai 15 % konsumsi premium nasional.
Salah satu solusi yang dapat dilaksanakan
adalah dengan membentuk desa mandiri energi. Sehingga petani ubi kayu tidak
hanya berperan sebagai penanam bibit ubi kayu saja, tetapi mereka dapat
memiliki peran lebih dalam proses produksi bioetanol ubi kayu dengan dapat
mengolah secara mandiri ubi kayu menjadi bioetanol melalui pelatihan dan
penyuluhan yang diberikan oleh pemerintah. Dengan demikian diharapkan
pemanfaatan ubi kayu sebagai bahan baku bioetanol dapat terus ditingkatkan
untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Seiring berkembangnya usaha produksi bioetanol berskala kemasyarakatan dan industri besar, diharapkan banyak singkong yang akan terserap sehingga harganya akan lebih kompetitif. Adanya pengaturan masa tanam dan panen juga diperlukan agar suplai bahan baku ke industri bioetanol tersedia cukup secara kontinu. Dengan demikian, petani singkong akan lebih sejahtera dan Indonesia akan mempunyai solusi energi alternatif yang terbarukan.
No comments:
Post a Comment