Saturday, April 28, 2012

Pemanfaatan Ubi Kayu Menjadi Bahan Baku Bioetanol Sebagai Solusi Untuk Memenuhi Kebutuhan Energi Nasional


Konsumsi bahan bakar minyak di Indonesia yang sangat tinggi dan semakin meningkat per tahunnya menyebabkan perlu adanya sumber energi alternatif untuk menjaga ketahanan energi nasional. Data dari Kementrian ESDM menunjukkan bahwa konsumsi bahan bakar minyak di Indonesia mencapai 479 juta barel, sehingga terdapat defisit sebesar 150 juta barel pada tahun 2011 dan angka tersebut diproyeksikan akan meningkat pada tahun-tahun berikutnya seiring dengan selalu meningkatnya permintaan masyarakat atas bahan bakar minyak. Tetapi konsumsi bahan bakar minyak tidak diimbangi oleh tingkat produksinya yang hanya sebesar 329 juta barel (ESDM, 2011). Dari produksi tersebut sebanyak 132 juta barel minyak diekspor ke luar negeri. Indonesia juga masih mengimpor minyak mentah sebanyak 99 juta barel dan BBM 182 juta barel. Sementara itu cadangan terbukti (proven reserve) minyak dalam negeri hanya 3,7 miliar barel atau 0,3 persen dari cadangan terbukti dunia (ESDM, Maret 2012). Bahkan apabila dibandingkan dengan negara tetangga, konsumsi minyak Indonesia delapan kali lipat lebih besar daripada Malaysia (INDEF, Maret 2012). Sehingga tidak bijaksana apabila Indonesia terus bergantung kepada energi dari bahan bakar minyak.
Untuk mengatasi masalah tersebut maka diversifikasi energi melalui bahan bakar nabati (BBN) dalam bentuk pemanfaatan ubi kayu sebagai sumber energi baru sangat potensial untuk dikembangkan mengingat kondisi Indonesia yang merupakan negara agraris dan memiliki produksi ubi kayu yang tinggi tetapi masih sangat rendah pemanfaatannya. Hal tersebut sejalan dengan kebijakan energi nasional dimana sebetulnya Indonesia sudah sangat siap dengan regulasi untuk menghadapai ancaman krisis energi, yaitu dengan adanya Peraturan Presiden No.5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional yang berisi strategi untuk menjamin keamanan energi di Indonesia. Kebijakan ini telah merumuskan bauran energi di tahun 2025 untuk mengurangi konsumsi energi fosil dan menggantinya dengan  energi baru terbarukan. Kebijakan lainnya yaitu UU No.30 Tahun 2007 tentang energi yang mengarah kepada terwujudnya kemandirian energi, PP no 70 Tahun 2009 tentang konservasi energi, serta Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025. Sayangnya implemetasi dari regulasi yang ada tidak sesuai dengan harapan.
Sehingga apabila dianalisa lebih lanjut, realisasi berkesinambungan dari pemanfaatan ubi kayu sebagai bahan baku bioetanol sudah memiliki landasan yang jelas. Sekarang tinggal bagaimana komitmen masyarakat dan pemerintah dalam pelaksanaannya. Dilihat dari segi potensi, Indonesia merupakan negara yang memiliki produksi ubi kayu cukup besar dibanding negara-negara lain. Menurut laporan United Nation Industrial Development Organization (UNIDO), Indonesia merupakan salah satu negara penghasil ubi kayu terbesar kedua di Asia setelah Thailand, sementara di dunia menempati urutan kelima setelah Nigeria, Brazil, Thailand, dan Kongo. Data tersebut di dukung oleh dijadikannya ubi kayu sebagai sumber pangan di daerah Indonesia timur.


Selain itu ubi kayu mempunyai komposisi kandungan kimia (per 100 gram) yang memungkinkannya untuk menjadi bahan baku bioetanol, antara lain : kalori 146 kal, protein 1,2 gram, lemak 0,3 gram, hidrat arang 34,7 gram, etanol, glikosida dan kalsium oksalat (Data Teknik Lingkungan ITS). Sehingga dari ubi kayu bisa didapatkan produksi minyak 1020 L/Ha dengan ekivalen energi 6600 kWh/Ha (Purwanto, 2010). Sebagai contoh, untuk penggunaan di transportasi, bioetanol dari ubi kayu yang dibutuhkan untuk campuran premium sekitar 1,37 juta kilo liter atau setara dengan 9,8 juta ton ubi segar. Dimana hal ini dapat tertutupi dengan produksi ubi kayu nasional sekitar 19,5 juta ton (PPPTP Bogor, 2005).
Tetapi implementasi dari ubi kayu untuk menjadi bahan baku bioetanol tetap memiliki permasalahan. Walaupun berdasarkan data yang ada potensinya sangat besar, produksi ubi kayu sabagai kebutuhan pangan jelas akan menjadi pertimbangan untuk mengkonversi ubi kayu menjadi bioetanol, sehingga dibutuhkan strategi peningkatan produksi ubi kayu tersebut agar dapat memenuhi kebutuhan pangan dan sebagai bahan baku bioetanol. Selain itu dibutuhkan standardisasi yang jelas dari harga bioetanol ubi kayu untuk melancarkan proses pemasaran bioetanol tersebut, sehingga produk bioetanol ubi kayu dapat memberi dampak positif secara ekonomi dengan menjadi solusi untuk meningkatkan penghasilan petani singkong. Secara umum diperlukan integrasi dari semua komponen mulai dari pemerintah sampai petani ubi kayu untuk mewujudkan kesinambungan pemanfaatan bioetanol ubi kayu yang merupakan salah satu langkah untuk mewujudkan visi roadmap energi 2025 dimana pemanfaatan bioetanol diharapkan mencapai 15 % konsumsi premium nasional. 

Salah satu solusi yang dapat dilaksanakan adalah dengan membentuk desa mandiri energi. Sehingga petani ubi kayu tidak hanya berperan sebagai penanam bibit ubi kayu saja, tetapi mereka dapat memiliki peran lebih dalam proses produksi bioetanol ubi kayu dengan dapat mengolah secara mandiri ubi kayu menjadi bioetanol melalui pelatihan dan penyuluhan yang diberikan oleh pemerintah. Dengan demikian diharapkan pemanfaatan ubi kayu sebagai bahan baku bioetanol dapat terus ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. Seiring berkembangnya usaha produksi bioetanol berskala kemasyarakatan dan industri besar, diharapkan banyak singkong yang akan terserap sehingga harganya akan lebih kompetitif. Adanya pengaturan masa tanam dan panen juga diperlukan agar suplai bahan baku ke industri bioetanol tersedia cukup secara kontinu. Dengan demikian, petani singkong akan lebih sejahtera dan Indonesia akan mempunyai solusi energi alternatif yang terbarukan.

No comments:

Post a Comment